SMAN 1 Pujud Jl. Lintas Timur No.1 Pujud Rokan Hilir...Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti...

PENGHULU TIGA LORONG (INDRAGIRI)


Peranap adalah salah satu kecamatan di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Kecamatan ini juga terkenal dengan sebutan Luhak Tiga Lorong. Disebut demikian, karena pada masa kerajaan Indragiri yang berkedudukan di Pekan Tua, Raja Indragiri yang ke-16, Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765 M.), mengangkat tiga orang bersaudara menjadi Penghulu di tiga wilayah di Indragiri Hulu. Ketiga orang bersaudara tersebut diangkat menjadi Penghulu, karena mereka berhasil menumpas kesewenang-wenangan Datuk Dobalang yang berkuasa di negeri Sibuai Tinggi yang masih wilayah Kerajaan Indragiri. Untuk mengetahui kisah bagaimana Tiga Bersaudara tersebut mengalahkan Datuk Dobalang, ikuti kisahnya dalam Penghulu Tiga Lorong.  

Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain, Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap di tempat tersebut.
Sementara itu, di istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi bertindak semena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut.

Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala, Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.
Sesampai di hadapan Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Raja memanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja.
Sebagai bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan “Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa.

Setelah Raja memenuhi semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga bersaudara pun bertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empat pantang larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:
Pertama, dilarang bersorak dan bertepuk tangan.
Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah.
Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju.
Keempat, dilarang memutar keris ke depan.
“Siapa yang melanggar peraturan tersebut dianggap kalah,” tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya.

Kemudian ketiga bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab, “Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketiga bersaudara diam sejenak. Mereka berpikir bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,” Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa menyadari kebodohannya.

Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.

Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam:
“Penat mau bergalah coba-coba mengalas
Penat hendak mengalah dicoba membalas”

Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.

Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah.

Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.


Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.

Sang Raja tidak mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara adalah pangkat.

Ketiga Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.

Atas anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah,
Tiada boleh akal buruk,
Budi merangkak,
Menggunting dalam lipatan,
Memakan darah di dalam,
Makan sumpah 1000 siang 1000 malam.
Ke atas dak bapucuk,
Ke bawah dak baurat,
Dikutuk kitab Al-Qur‘an 30 juz.

Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat.

Sejak peristiwa di atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal Kecamatan Peranap). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Isjoni Ishak dan Mira Dewi Minrasih, ada beberapa usaha yang telah mereka lakukan dalam memajukan masyarakat Baturijal khususnya, dan Tiga Lorong umumnya, antara lain:

1.      Menyatukan rakyat yang bermacam-macam suku bangsa melalui pendekatan sosial
2.      Meningkatkan perekonomian rakyat melalui bidang pertanian, perkebunan dan perikanan.
3.      Menanamkan sifat solidaritas kepada masyarakat Tiga Lorong. Dalam hal ini, mereka tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan adat-istiadat masyarakat yang berlainan tersebut.
4.      Menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang berpedoman kepada Alquran bagi masyarakat Tiga Lorong.

Usaha-usaha yang telah mereka lakukan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat desa Tiga Lorong. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekonomi masyarakat. Selain itu, masyarakat Tiga Lorong sangat taat terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah.

Cerita Penghulu Tiga Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi.








KAWAL DAN SI JANGOI : ASAL MULA PULAU SI JANGOI

Pada zaman dahulu, Negeri Riau sangat makmur dengan bandar-bandar yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai negeri. Negeri itu mempunyai hulubalang-hulubalang yang berani dan gagah perkasa. Selain itu, juga memiliki panglima yang sangat sakti, Panglima Kawal namanya.

Kemakmuran dan kesejahteraan Ne­geri Riau sangat terkenal. Banyak sudah lanun yang ber­usaha untuk menguasai negeri itu. Namun, berkat ketangkasan Pang­lima Kawal dan para hulubalangnya, negeri Riau selalu dapat diselamatkan.

Pada suatu hari, pelabuhan Riau begitu ramai dengan pedagang yang baru tiba dari negeri-negeri jauh. Para  kuli sibuk mengangkat barang dagangan yang diturunkan dari kapal. Di antara kesibukan tersebut, tiba-tiba terdengar letusan meriam beberapa kali sebagai tanda datangnya satu kelompok kapal asing. Mendengar bunyi meriam tersebut, beberapa hulubalang segera merapatkan perahu mereka ke kapal-kapal pendatang tersebut.

“Selamat datang di negeri kami. Jika boleh kami tahu, dari mana dan apa maksud kedatangan Tuan-tuan?” tanya Ketua Hulubalang.
“Hei, bodoh! Saya adalah Jangoi, pemimpin perampok yang ditakuti di Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatra!” jawab pemimpin rombongan itu dengan sombong. “Jika rakyat negeri ini ingin selamat, tunduklah padaku!” lanjutnya.

Ketua Hulubalang geram melihat ke­sombongan dan tingkah laku Jangoi dan anak buahnya yang kurang sopan. Tetapi dia masih mempunyai rasa santun.
“Tunggulah di sini, saya akan melapor­kan kedatangan kalian kepada panglima kami.”

Ketua Hulubalang segera meme­rintahkan anak buahnya untuk mengawasi orang-orang itu agar tidak membuat ke­kacauan, sementara dia menghadap Pang­lima Kawal. Mendengar laporan dari Ketua Hulubalang, Panglima Kawal segera me­merintahkan beberapa hulubalang un­tuk mempersiapkan pertahanan negeri.

“Siapkan perahu, aku ingin meng­adakan perundingan dengan orang asing itu!” perintah Panglima Kawal setelah per­tahanan negeri siap. Panglima Kawal adalah seorang panglima yang cinta damai. Dia memilih jalan perundingan sebelum terjadi peperangan. Dia tidak ingin rakyat sengsara akibat perang. Dengan diiringi beberapa hulubalang, Panglima Kawal menemui Jangoi di atas perahunya.

Walaupun sombong, saat bertemu dengan Panglima Kawal, si Jangoi ber­tingkah laku sopan. Dia segera meng­hidang­kan sirih lengkap dengan kapur dan pinangnya.

“Silakan, Tuan,” kata Jangoi mena­warkan sirih. Panglima Kawal tahu bahwa daun sirih yang dihidangkan adalah daun jelatang, maka dia menolaknya.
Melihat hal itu, tahulah Jangoi bah­wa Panglima Kawal tidak makan sirih, melainkan makan bakik. Maka, dikeluar­kannya tepak sirih yang berisi beberapa batang bakik. Jangoi sengaja menaruh paku beracun di dalam tepak sirih itu sebagai pengganti bakik.
Panglima Kawal segera mengambil bakik yang dihidangkan itu dan me­makannya.

“Mari, Tuan Jangoi,” Panglima Kawal menawari Jangoi untuk turut serta makan bakik itu.
Si Jangoi sangat heran. Dia terdiam beberapa saat. Melihat Jangoi heran, Panglima Kawal mengambil beberapa bakik dan dipatahkan menggunakan jari­nya. Jangoi terperangah.

“Bagi orang Riau, bakik seperti inilah pengganti sirih,” ujar Panglima Kawal tenang.
“Maafkan kami, Tuan. Kami menyerah kalah,” kata Jangoi. Dia mengakui tingginya ilmu orang-orang Riau dan membatalkan niatnya untuk menaklukkan Riau. 

Jangoi segera memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan Riau. Sebe­lum layar terkembang, Jangoi meng­ambil bakik seraya bersumpah, “Jika bakik ini tidak timbul, aku tidak akan datang ke tempat ini lagi.” Selesai berkata demikian, Jangoi melemparkan bakiknya ke laut lepas dan bakik itu tenggelam. Jangoi tidak memikirkan apa yang sudah diucapkan dan dilakukannya.

Waktu terus berlalu. Beberapa tahun berselang, Panglima Kawal meninggal dunia. Seluruh rakyat Riau bersedih kehilangan panglima terbaiknya. Kabar kematian Panglima Kawal segera tersebar dan terdengar oleh Jangoi. Jangoi amat gembira. Ia segera berangkat meng­guna­kan kapal besar untuk menaklukkan Riau.

“Inilah saatnya untuk menguasai ne­geri yang kaya itu. Kini tidak ada lagi yang akan menghalangi niatku,” gumam Jangoi. Menurutnya, jika Panglima Kawal telah meninggal, pastilah Negeri Riau menjadi lemah.

Sesampai kapal itu di perairan Riau, si Jangoi keluar ke anjungan. Saat kapal melepas jangkar di tempat dahulu Jangoi bersumpah, tiba-tiba dia terjatuh dan sakit. Para tabib yang didatangkan tak mampu menyembuhkannya. Jangoi segera ter­ingat sumpahnya dan menyesalinya. Sebe­lum meninggal, ia berpesan agar dikubur di tempat ia bersumpah. Beberapa saat kemudian, Jangoi meninggal dunia karena melanggar sumpahnya sendiri.

Anak buahnya kemudian menengge­lamkan mayat Jangoi di tempat ia ber­sumpah, yaitu di antara Pulau Penye­ngat dan Teluk Keriting. Beberapa saat setelah mayat Jangoi tenggelam, di tempat itu muncul sebuah pulau. Pulau itu kemudian diberi nama Pulau Si Jangoi atau Pulau Paku. Pulau itu masih ada dan dikenal hingga saat ini. 




PANGLIMA KAWAL DAN SI JANGOI : ASAL MULA PULAU SI JANGOI

Pada zaman dahulu, Negeri Riau sangat makmur dengan bandar-bandar yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai negeri. Negeri itu mempunyai hulubalang-hulubalang yang berani dan gagah perkasa. Selain itu, juga memiliki panglima yang sangat sakti, Panglima Kawal namanya.

Kemakmuran dan kesejahteraan Ne­geri Riau sangat terkenal. Banyak sudah lanun yang ber­usaha untuk menguasai negeri itu. Namun, berkat ketangkasan Pang­lima Kawal dan para hulubalangnya, negeri Riau selalu dapat diselamatkan.

Pada suatu hari, pelabuhan Riau begitu ramai dengan pedagang yang baru tiba dari negeri-negeri jauh. Para  kuli sibuk mengangkat barang dagangan yang diturunkan dari kapal. Di antara kesibukan tersebut, tiba-tiba terdengar letusan meriam beberapa kali sebagai tanda datangnya satu kelompok kapal asing. Mendengar bunyi meriam tersebut, beberapa hulubalang segera merapatkan perahu mereka ke kapal-kapal pendatang tersebut.

“Selamat datang di negeri kami. Jika boleh kami tahu, dari mana dan apa maksud kedatangan Tuan-tuan?” tanya Ketua Hulubalang.
“Hei, bodoh! Saya adalah Jangoi, pemimpin perampok yang ditakuti di Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatra!” jawab pemimpin rombongan itu dengan sombong. “Jika rakyat negeri ini ingin selamat, tunduklah padaku!” lanjutnya.

Ketua Hulubalang geram melihat ke­sombongan dan tingkah laku Jangoi dan anak buahnya yang kurang sopan. Tetapi dia masih mempunyai rasa santun.
“Tunggulah di sini, saya akan melapor­kan kedatangan kalian kepada panglima kami.”

Ketua Hulubalang segera meme­rintahkan anak buahnya untuk mengawasi orang-orang itu agar tidak membuat ke­kacauan, sementara dia menghadap Pang­lima Kawal. Mendengar laporan dari Ketua Hulubalang, Panglima Kawal segera me­merintahkan beberapa hulubalang un­tuk mempersiapkan pertahanan negeri.

“Siapkan perahu, aku ingin meng­adakan perundingan dengan orang asing itu!” perintah Panglima Kawal setelah per­tahanan negeri siap. Panglima Kawal adalah seorang panglima yang cinta damai. Dia memilih jalan perundingan sebelum terjadi peperangan. Dia tidak ingin rakyat sengsara akibat perang. Dengan diiringi beberapa hulubalang, Panglima Kawal menemui Jangoi di atas perahunya.
Walaupun sombong, saat bertemu dengan Panglima Kawal, si Jangoi ber­tingkah laku sopan. Dia segera meng­hidang­kan sirih lengkap dengan kapur dan pinangnya.
“Silakan, Tuan,” kata Jangoi mena­warkan sirih. Panglima Kawal tahu bahwa daun sirih yang dihidangkan adalah daun jelatang, maka dia menolaknya.
Melihat hal itu, tahulah Jangoi bah­wa Panglima Kawal tidak makan sirih, melainkan makan bakik. Maka, dikeluar­kannya tepak sirih yang berisi beberapa batang bakik. Jangoi sengaja menaruh paku beracun di dalam tepak sirih itu sebagai pengganti bakik.
Panglima Kawal segera mengambil bakik yang dihidangkan itu dan me­makannya.
“Mari, Tuan Jangoi,” Panglima Kawal menawari Jangoi untuk turut serta makan bakik itu.
Si Jangoi sangat heran. Dia terdiam beberapa saat. Melihat Jangoi heran, Panglima Kawal mengambil beberapa bakik dan dipatahkan menggunakan jari­nya. Jangoi terperangah.
“Bagi orang Riau, bakik seperti inilah pengganti sirih,” ujar Panglima Kawal tenang.
“Maafkan kami, Tuan. Kami menyerah kalah,” kata Jangoi. Dia mengakui tingginya ilmu orang-orang Riau dan membatalkan niatnya untuk menaklukkan Riau. 

Jangoi segera memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan Riau. Sebe­lum layar terkembang, Jangoi meng­ambil bakik seraya bersumpah, “Jika bakik ini tidak timbul, aku tidak akan datang ke tempat ini lagi.” Selesai berkata demikian, Jangoi melemparkan bakiknya ke laut lepas dan bakik itu tenggelam. Jangoi tidak memikirkan apa yang sudah diucapkan dan dilakukannya.

Waktu terus berlalu. Beberapa tahun berselang, Panglima Kawal meninggal dunia. Seluruh rakyat Riau bersedih kehilangan panglima terbaiknya. Kabar kematian Panglima Kawal segera tersebar dan terdengar oleh Jangoi. Jangoi amat gembira. Ia segera berangkat meng­guna­kan kapal besar untuk menaklukkan Riau.
“Inilah saatnya untuk menguasai ne­geri yang kaya itu. Kini tidak ada lagi yang akan menghalangi niatku,” gumam Jangoi. Menurutnya, jika Panglima Kawal telah meninggal, pastilah Negeri Riau menjadi lemah.
Sesampai kapal itu di perairan Riau, si Jangoi keluar ke anjungan. Saat kapal melepas jangkar di tempat dahulu Jangoi bersumpah, tiba-tiba dia terjatuh dan sakit. Para tabib yang didatangkan tak mampu menyembuhkannya. Jangoi segera ter­ingat sumpahnya dan menyesalinya. Sebe­lum meninggal, ia berpesan agar dikubur di tempat ia bersumpah. Beberapa saat kemudian, Jangoi meninggal dunia karena melanggar sumpahnya sendiri.

Anak buahnya kemudian menengge­lamkan mayat Jangoi di tempat ia ber­sumpah, yaitu di antara Pulau Penye­ngat dan Teluk Keriting. Beberapa saat setelah mayat Jangoi tenggelam, di tempat itu muncul sebuah pulau. Pulau itu kemudian diberi nama Pulau Si Jangoi atau Pulau Paku. Pulau itu masih ada dan dikenal hingga saat ini.





LEGENDA PUTRI MAMBANG LINAU

Riau adalah salah satu propinsi di Indonesia yang kaya dengan pelbagai jenis kesenian tradisional yang telah menjadi bagian hidup masyarakat Riau. Pelbagai jenis kesenian tradisional tersebut adalah seni tari, seni musik, seni ukir, seni tenun, seni lukis, seni bela diri, dan teater rakyat. Di antara jenis kesenian tersebut, seni tari (tarian) merupakan jenis kesenian Melayu Riau yang paling menonjol. Seni tari atau tarian merupakan jenis seni gerak yang memiliki gerakan-gerakan khusus. Setiap daerah dan suku-bangsa mempunyai gerakan-gerakan tersendiri dalam memperagakan sebuah tarian. Dibalik gerakan-gerakan tersebut terdapat cerita-cerita yang menarik. Salah satu tari yang memiliki cerita menarik di Riau adalah tari Olang-olang. Tarian ini sangat digemari oleh puak Melayu Sakai di kabupaten Bengkalis, Riau. Mereka mempercayai bahwa tarian ini lahir dari sebuah cerita legenda yang mengisahkan pertemuan seorang pemuda dengan seorang gadis jelita dari kayangan yang sangat gemulai menari, lalu keduanya bercinta kasih. Namun, jalinan kasih mereka putus, karena si gadis melanggar pantangan yang telah mereka buat. Pantangan apa yang dilanggar gadis itu? Bagaimana kisah pertemuan mereka hingga akhirnya berpisah? Ikuti kisahnya dalam Legenda Putri Mambang Linau.
Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama Bujang Enok. Ia hidup miskin dan sebatang kara, tak berayah, tak beribu, tak juga bersaudara. Namun, ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, yang kemudian dijualnya ke pasar atau ditukarkannya dengan beras dan keperluan hidupnya yang lain.
Suatu pagi, Bujang Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia dihadang seekor ular berbisa. “Ssssss......Ssssss.....”, ular itu berdesis menjulur-julurkan lidahnya ke arah Bujang Enok. Melihat ular itu, Bujang Enok berusaha menghalaunya dengan baik, namun tidak juga mau pergi. Lalu ia pun mendiamkannya. Ketika ia diamkan, ular itu justru hendak mematuk Bujang Enok. Dengan terpaksa, Bujang Enok pun melecutnya dengan semambu (tongkat rotan), pusaka peninggalan almarhum ayahnya. Sekali lecut, ular berbisa itu pun menggeliat, lalu mati. Setelah melihat tak bergerak lagi, Bujang Enok segera mengubur ular itu di pinggir jalan. Setelah itu, ia pun mulai mengumpulkan kayu api. Ketika akan memulai pekerjaannya, ia mendengar suara perempuan sedang bercakap-cakap. “Ular berbisa itu telah mati”, kata sebuah suara perempuan dari arah lubuk di hulu sungai. “Syukurlah, kita tidak akan diganggu ular itu lagi”, sahut suara perempuan lainnya. Semakin lama, suara-suara tersebut semakin jelas terdengar oleh Bujang Enok, namun ia tidak menghiraukan suara tersebut, dan ia terus melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu api.
Pada saat tengah hari, seperti biasanya Bujang Enok pulang ke pondoknya. Ketika dia masuk ke dapur pondoknya, Bujang Enok merasa heran, karena di dapurnya telah tersedia nasi dan segala lauk pauk yang lezat rasanya. Karena lapar yang tak tertahan, ia pun langsung melahap semua hidangan yang tersaji itu. Sambil menikmati kelezatan makanan itu, Bujang Enok menebak-nebak dalam hati, “Ibuku sudah meninggal dunia, aku pun tak punya saudara, tetanggaku juga sangat jauh dari sini. Lalu, siapa ya.....yang menghidangkan makanan ini?”. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk dalam benaknya. Karena penasaran, ia pun berniat untuk mencari tahu orang yang menghidangkan makanan itu.
Keesokan harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya untuk mencari tahu orang yang telah berani masuk ke dalam pondoknya. Hari itu ia memutuskan tidak pergi ke hutan. Dari pagi hingga siang ditunggunya orang yang masuk ke pondoknya. Bujang Enok menunggu di antara semak-semak yang berada tak jauh dari pondoknya. Menjelang tengah hari, tiba-tiba dari arah lubuk, datang tujuh gadis jelita. Mereka datang beriring-iringan dan menjunjung hidangan, lalu masuk ke dalam pondok Bujang Enok. Ketujuh gadis itu mengenakan selendang berwarna pelangi. Namun dari ketujuh gadis itu, gadis yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. “Waw, cantik sekali gadis yang berselendang jingga itu?”, gumam Bujang Enok sambil mengawasi gadis itu hingga hilang dari pandangannya.
Tak lama kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari pondok Bujang Enok, dan berjalan ke arah lubuk hulu sungai. Dengan langkah hati-hati, Bujang Enok membuntuti ketujuh gadis jelita itu hingga ke pinggir lubuk hulu sungai, lalu bersembunyi di rimbunan semak-semak. Di balik semak-semak itu, Bujang Enok dapat melihat ketujuh gadis itu tengah berganti pakaian yang akan mandi. Masing-masing gadis itu menyangkutkan selendangnya pada sebuah ranting kayu. Mereka mandi sambil bersendau gurau, hingga tak menyadari kehadiran Bujang Enok yang tak jauh dari tempat mereka mandi. Suasana yang ramai itu, digunakan Bujang Enok untuk mengambil selendang yang tergantung di ranting. Dari balik semak-semak, Bujang Enok mengaitkan sebuah tongkat ke selendang yang berwarna jingga. Kemudian ia menariknya dengan pelan-pelan, lalu meraih selendang itu dan menyembunyikan di balik bajunya. Setelah itu, ia pun kembali bersembunyi di balik semak-semak.
Setelah selesai mandi, ketujuh gadis itu naik ke tepi lubuk lalu berganti pakaian. Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya yang tergantung di ranting. Namun, di antara ketujuh gadis itu ada seorang gadis yang kehilangan selendang. “Selendang saya di mana?, tanya gadis itu sambil mencari-cari selendangnya yang hilang. Namun, tak seorang pun temannya yang tahu keberadaan selendang itu. Lalu, gadis itu meneruskan pencariannya, dibantu keenam gadis lainnya. Setelah beberapa lama mereka mencari, tapi selendang jingga itu tak kunjung ditemukan. Menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba menari dan kemudian melayang-layang terbang ke angkasa meninggalkan gadis yang kehilangan selendang itu seorang diri di tepian lubuk. Sementara itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu dari balik semak-semak. Bujang Enok terus memandangi keenam gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Makin tinggi terbang ke angkasa, makin kecil keenam gadis itu terlihat. Sampai akhirnya mereka menghilang dari pandangan Bujang Enok.
Setelah itu, Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan menghampiri gadis yang sedang mencari-cari selendangnya. “Apa yang kau cari, wahai gadis cantik?” tanya Bujang Enok. “Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang berwarna jingga, hamba mohon kembalikanlah selendang itu,” pinta Gadis itu sambil menyembah. Bujang Enok menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata: “Saya bersedia mengembalikan selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat, Tuan Putri bersedia menikah dengan saya,” kata Bujang Enok. “Ya, saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan, asalkan Tuan sanggup berjanji pula, apabila saya terpaksa harus menari, berarti kita akan bercerai kasih,” kata gadis jelita itu dengan tulus. “Baiklah, saya bersedia mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas Bujang Enok memperkenalkan dirinya. “Nama saya Mambang Linau,” kata gadis jelita itu membalasnya. Sejak saat itu, mereka menjalin cinta kasih dalam sebuah bahtera rumah tangga. Bujang Enok dan Mambang Linau hidup bahagia, rukun dan berkecukupan.  
Sejak menikah dengan Mambang Linau, Bujang Enok semakin terkenal di kampungnya dengan sifat pemurahnya. Kepemurahan hati Bujang Enok itu terdengar oleh Raja yang berkuasa di negeri itu. Kemudian sang Raja pun memanggil Bujang Enok menghadap kepadanya untuk diangkat menjadi Batin (Kepala Kampung) di kampung Petalangan. Bujang Enok pun datang ke istana. Setelah di hadapan Raja, “Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil hamba?”, tanya Bujang Enok sambil memberi hormat. “Wahai Bujang Enok, bersediakah kamu saya jadikan Batin di kampung Petalangan?‘, sang Raja bertanya pula. “Ampun, Baginda! Jika itu kehendak Baginda, dengan senang hati hamba bersedia menjadi Batin”, jawab Bujang Enok pelan sambil memberi hormat. Kesediaan Bujang Enok menjadia Batin membuat sang Raja senang. Beberapa hari kemudian, Bujang Enok pun dilantik menjadi Batin di kampung Petalangan.
Sejak menjadi Batin, Bujang Enok pun menjadi salah seorang kepercayaan sang Raja. Setiap mengadakan pesta, sang Raja selalu mengundang Bujang Enok. Suatu hari, sang Raja mengadakan pesta di istana. Dalam pesta itu wajib diisi dengan tari-tarian yang dipersembahkan oleh dayang, istri pembesar istana, istri para penghulu dan kepercayaan raja, termasuk istri Bujang Enok, Putri Mambang Linau. Setelah acara dimulai, satu persatu para istri mempersembahkan tarian mereka. Putri Mambang Linau yang sedang menyaksikan pertunjukan tarian itu, mulai berdebar-debar. Dalam hatinya, “Jika aku ikut menari, berarti aku akan bercerai dengan Suamiku”. Baru saja ia selasi bergumam, tiba-tiba, “Kami persilakan Putri Mambang Linau,” titah Raja diiringi tepuk tangan para hadirin. Mendengar titah sang Raja, hatinya pun semakin berdebar kencang. Bujang Enok yang duduk di sampingnya menoleh ke arah istrinya, “Wahai adinda Mambang Linau, kakanda menjunjung tinggi titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mengerti maksud bisikan suaminya, lalu menjawab “Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas tuah negeri, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau seraya mengenakan selendang berwarna jingga dan kemudian menuju ke atas pentas.
Sebelum memulai tariannya, Putri Mambang Linau terlebih dahulu melakukan gerakan-gerakan persembahan untuk menjaga tata kesopanan dalam istana dan menghormati sang Raja. Setelah itu, ia pun mulai menari layaknya seekor burung elang. Ia melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya diangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Mambang Linau meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju kayangan. Semua yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasih dengan Putri Mambang Linau. Betapa besar pengorbanan Bujang Enok. Ia rela bercerai dengan istrinya demi menjunjung tinggi titah sang Raja. Menyadari hal itu, sang Raja pun menganugerahi Bujang Enok sebuah kehormatan yaitu dilantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Dari peristiwa ini pula lahir sebuah pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas si buah limau
Coba cicipi di ujung-ujung sekali
Sudahlah pergi si Mambang Linau
Hamba sendiri menjunjung duli

Setelah peristiwa itu, Raja Negeri bertitah bahwa untuk menghormati pengorbanan Bujang Enok, maka setiap tahun diadakan acara tari persembahan. Tarian ini mengisahkan Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. Karena gerakannya menyerupai burung elang yang sedang melayang (elang babegar), maka tarian itu dinamakan tarian elang-elang. Kini, masyarakat Riau lebih senang menyebutnya tari olang-olang. Tarian olang-olang ini biasanya dimainkan dengan diiringi oleh gendang (gubano) rebab, calempong dan gong. Tarian ini dapat dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia. (SM/sas/2/6-07)
Sumber:
  • Legenda Puteri Mambang Linau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
Budaya Tradisional Bengkalis. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu UNRI (P2BKM-UNRI).



By : NILA SARI & RAHMA FITRI