Pulau
Bintan merupakan pulau yang terbesar di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di
Pulau ini terdapat Kota Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau
ini dihuni oleh berbagai macam suku-bangsa seperti Melayu, Tionghoa, Minang,
Batak, Jawa dan lain-lain. Dahulu, di Pulau Bintan juga pernah berdiam
sekelompok suku-bangsa yang terkenal dengan nama Suku Sampan atau Suku Laut.
Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang masih hidup dan
berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Riau, khususnya masyarakat Bintan.
Cerita ini berkisah tentang Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan di
Pulau Bintan, yang menemukan seorang bayi perempuan di semak-semak pandan di
tepi laut. Batin Lagoi kemudian mengangkat bayi itu sebagai anak dan diberinya
nama Putri Pandan Berduri.
Batin
Lagoi mengasuh Putri Pandan Berduri seperti layaknya seorang putri raja. Setiap
hari Batin Lagoi mengajarinya budi pekerti luhur, sehingga ia tumbuh menjadi
gadis yang sangat cantik dan berbudi bahasa lembut. Kecantikan dan keelokan
budi Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda kampung di Bintan.
Namun, tak seorang pun yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan
putrinya menjadi istri seorang anak raja atau megat.[1] Akankah tercapai
cita-cita Batin Lagoi tersebut? Lalu, anak raja atau anak megat dari manakah
yang akan beruntung menjadi suami Putri Pandan Berduri? Ingin tahu jawabannya?
Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Putri Pandan Berduri berikut ini.
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau
orang Suku Laut. Mereka dipimpin oleh seorang Batin yang gagah perkasa. Batin
Lagoi namanya. Untuk masuk ke kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah
betung[2] yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.
Pada
suatu hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Tengah berjalan santai, tiba-tiba ia
dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan. Dengan
perasaan takut, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati. Tak berapa
lama, didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun di antara
semak pandan itu. “Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke
mana?” Batin Lagoi bertanya dalam hati.
Setelah
menengok ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di
sekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, timbullah keinginan untuk
mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, diambilnya bayi itu dan
dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia
memelihara Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih-sayang seperti memelihara
seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi
pekerti yang luhur.
Waktu
terus berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
Tutur bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja.
Kecantikan dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum
para pemuda di Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya,
karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau
anak megat.
Sementara
itu, di Pulau Galang, tersebutlah seorang Megat yang mempunyai dua orang anak
laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa.
Sejak mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan
saling menghormati.
Setelah
keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin di Galang.
Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan
adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun
menjalani hidup masing-masing secara terpisah.
Dari
hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan
memusuhi adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata kepada adiknya,
“Hei, Jenang bodoh!” Kelak aku menjadi batin di kampung ini, maka kamu harus
mematuhi segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari kampung ini.”
Jenang
Perkasa sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak lagi
dianggap sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa semakin
terasing dari keluarga. Oleh karena itu, timbullah keinginannya untuk
meninggalkan Pulau Galang. Keesokan
harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah. Setelah
berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di sana, ia
tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata lembut kepada
setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah
menarik perhatian Batin Lagoi.
Pada
suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku
Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan
itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan
dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci
tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata
sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain
adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh
mengesankan hati Batin Lagoi.
Usai
perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa. “Wahai, Jenang Perkasa! Aku
sangat terkesan dan kagum dengan keelokan budi pekertimu. Bersediakah engkau aku
nikahkan dengan putriku, Pandan Berduri?” tanya Batin Lagoi. “Dengan segala
kerendahan hati, saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya,” jawab Jenang
Perkasa dengan sopannya.
Rupanya,
Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan
anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang
megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh
tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.
Seminggu
kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan
mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan makanan dihidangkan. Tari-tarian juga
dipergelarkan menghibur para pengantin dan para undangan. Jenang Perkasa dan
Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.
Tak
berapa lama kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai Batin di
Bintan untuk menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat Bintan dengan
bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan.
Kepemimpinan
Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat Galang. Hingga
suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau Bintan. “Wahai,
Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di Pulau Bintan
ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali ke Galang
mengggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin,” kata salah seorang
dari mereka. Namun, Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi Batin
di Pulau Batin. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan
hampa.
Sementara
Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai
tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi,
dan yang bungsu Batin Kelong.
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.
Setelah
beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing.
Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi
dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga
suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan.
Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu
kepada adat Kesukuan.
Tak
lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri.
Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga
adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan
Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan.
Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau
Bintan.
Cerita
rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung
nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral yang dapat diambil pelajaran dalam cerita
di atas adalah keutamaan perangai yang baik dan pantangan bersikap sombong.
Sifat berperangai baik tercermin pada sikap dan perilaku Putri Pandan Berduri
dan Jenang Perkasa. Mereka selalu bertutur kata yang lembut, sopan dan santun,
sehingga mereka banyak disenangi orang. Sikap dan perilaku mereka tersebut
patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sifat sombong tercermin
pada sifat Julela yang selalu merendahkan adiknya, Jenang Perkasa.
Kesombongannya pun semakin menjadi setelah diangkat menjadi Batin Galang. Oleh
karena sifatnya tersebut, ia dijauhi oleh masyarakat. Bahkan adiknya sendiri
pergi meninggalkannya. Besarnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat
sombong, sehingga sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu.
Bagi mereka, orang yang sombong dan angkuh akan terkucilkan dalam masyarakat.
Banyak petuah amanah yang menyebutkan tentang akibat buruk dari sifat sombong
dan angkuh ini, di antaranya:
kalau
suka membesarkan diri,
saudara menjauh, sahabat pun lari
kalau suka berlaku angkuh,
orang benci, sahabat menjauh
saudara menjauh, sahabat pun lari
kalau suka berlaku angkuh,
orang benci, sahabat menjauh
NAMA KELOMPOK
1.LILIS SURYANI
2.SRI WULANDARI
3.SUSI
4.ROBI CHAIREZA
5.ZULKIFLI