Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun
nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini,
Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak
yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap
hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh
menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan
bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman
tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota
Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat
populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara
turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita
rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan
masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan
sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai
adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang
asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di
daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini
diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh
orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari
ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang
Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya
lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya
merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan
ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan
Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu
sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau,
ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang
mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya
yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut
dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat
kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa
disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk
Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus
terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta
kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran
mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang
Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat
kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun
disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri
Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima
pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol
paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah
combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini
melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih
dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya
ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda
Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga
Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang
Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu
yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di
negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan
lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya
untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua
kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang
tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan
menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan
terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya
makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan
untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3
bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai.
Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak
berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang
tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta
bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran
Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah
pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat
mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh
dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh
malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan
Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap
Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut,
sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai
orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab,
“Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan
menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti
rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan
niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat
baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan
Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah
Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut.
Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang
Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima
bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan.
Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan
tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau
bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara
Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan
kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit
dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu
tetap dikenang dalam sebuah lirik:
Umbut mari
mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya
berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai
meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan
Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang
Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan
Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai.
Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk
mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai
diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi
nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan
nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati
orang sakit.
Daftar
pustaka: internet
ASAL MULA PULAU SANGKAR AYAM
Alkisah, di
Pantai Solop, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, ada seorang guru mengaji dan
silat yang bernama Tuk Solop. Umurnya sudah mulai udzur. Janggutnya yang lebat
sudah berwarna putih. Jika berjalan, ia harus ditopang dengan tongkat sakti
pemberian gurunya. Tuk Solop seorang guru yang sakti dan terkenal hingga ke
pelosok negeri. Walaupun sakti, ia tetap rendah hati. Ia sangat sopan dan
santun jika bertutur sapa. Kepada yang muda ia sayangi, dan kepada yang tua ia
hormati. Ia memiliki banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri.
Namun herannya, sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru
kepadanya. Murid-muridnya yang sudah tamat kini sudah pergi, tidak tersisa
seorang murid pun. Pantai Solop pun menjadi sepi.
Sementara itu, tidak jauh dari Pantai
Solop, ada sebuah dusun yang bernama Serimba. Di dusun itu ada seorang pemuda
bernama Pendekar Katung. Ia sangat sakti dan memiliki ilmu silat tingkat
tinggi. Kerisnya dapat menyala bagaikan halilintar. Tubuhnya kebal terhadap
segala jenis senjata tajam. Namun, sifatnya bertolak belakang dengan sifat Tuk
Solop. Ia sangat angkuh dan sombong. Ia memiliki berpuluh-puluh murid dan
pengawal yang setia.
Pendekar Katung adalah seorang pendekar
yang kaya-raya. Ia menjadi kaya karena selalu menang taruhan menyabung ayam. Ia
memiliki ayam jago yang belum terkalahkan. Sudah ratusan ayam yang mati oleh
ayam jagonya itu, sehingga Pendekar Katung semakin terkenal sampai ke pelosok
negeri.
Pendekar Katung juga memiliki seorang
adik perempuan yang cantik jelita bernama Suri. Sebenarnya, Suri bukanlah adik
kandungnya, tapi ia adalah anak dari seorang penyabung yang sudah meninggal,
karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh oleh
pengawal Pendekar Katung di tengah hutan Serimba. Suri yang masih bayi saat itu
kemudian diasuh oleh Pendekar Katung hingga menjadi seorang gadis cantik
jelita.
Pada
suatu ketika, seorang pengembara muda datang ke Pantai Solop. Kedatangannya ke
pantai itu hendak menuntut ilmu. Ia pernah mendengar bahwa di pantai itu ada
seorang guru sejati yang tidak memiliki murid dan tengah mencari murid yang
setia untuk mewariskan ilmunya, karena sebentar lagi akan menghadap kepada Yang
Kuasa.
Sesampainya di Pantai Solop, pengembara
muda itu kebingungan, karena tidak seorang pun yang ditemuinya. Ia hanya
menyaksikan pantai pasir putih yang begitu indah dan deburan ombak yang memecah
suasana sunyi.
”Kenapa
tidak ada siapa-siapa di tempat ini? Di mana sang Guru itu?” tanya Pengembara
Muda itu dalam hati.
Setelah melayangkan pandangan ke
sekelilingnya, orang yang dicarinya tidak juga ditemukan. Akhirnya, untuk menghilangkan
rasa letih setelah berjalan cukup jauh, ia pun duduk di bawah sebuah pohon di
pantai itu sambil menikmati siliran angin laut dan menyaksikan gulungan ombak
sedang berkejar-kejaran.
Di tengah menikmati pemandangan yang
indah itu, tiba-tiba dari kejauhan tampak seseorang menuju ke arahnya. Mulanya
ia mengira bahwa sosok itu hanyalah sebuah bayangan. Namun, setelah orang itu
mulai mendekat hatinya pun mulai lega.
“Mmm,
berarti memang ada kehidupan di tempat ini,” gumam Pengembara Muda itu.
“Apakah
dia itu sang Guru yang sedang saya cari?” tanyanya dalam hati.
Ketika
orang itu betul-betul berada di dekatnya, tiba-tiba keraguan bercampur rasa
kagum menyelimuti hatinya. Ternyata orang yang menghampirinya itu adalah
seorang gadis cantik jelita nan elok rupawan.
“Amboi,
cantik sekali gadis ini! Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari
kayangan,” pikirnya dalam hati.
Laksana
tersihir, Pengembara Muda itu diam tidak bergerak, saat gadis itu menyapanya
dengan lemah lembut.
“Abang
mau ke mana? Sepertinya Abang bukan orang daerah ini?”
Pengembara itu masih tetap diam menatap
gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Keraguan kembali menyelimuti hatinya. Ia
berpikir, jangan-jangan gadis itu adalah hantu jambangan yang hendak
mengganggunya. Mustahil seorang gadis cantik tinggal sendirian di tempat yang
sunyi itu.
”Kenapa
Abang menatapku seperti itu? Abang tidak usah takut. Saya juga manusia seperti
Abang,” ujarnya meyakinkan Pengembara Muda itu.
”Benarkah?
Tapi, kenapa kamu ada di tempat ini seorang diri?” Pengembara Muda itu balik
bertanya berusaha menghilangkan keraguannya.
”Benar,
Bang! Nama saya Suri. Saya tinggal di balik hutan sebelah sana. Kampung kami di
sana,” jelas gadis yang menyebut namanya Suri itu.
Mendengar
penjelasan Suri, keraguan Pengembara Muda itu pun mulai hilang. Namun, matanya
tidak berkedip terus menatap Suri.
”Sudahlah,
Bang! Janganlah menatapku seperti itu, saya jadi takut!” seru Gadis itu.
”Maaf,
Abang hanya kagum melihat kecantikan, Dik Suri. Secantik-cantik gadis di negeri
Abang, tidak seorang gadis pun yang dapat menyamai kecantikan, Dik Suri!” puji
Pengembara Muda itu.
”Ah,
Abang! Suri jadi malu,” kata Suri sambil tersenyum malu.
”Benar,
Dik! Abang benar-benar kagum dengan keelokan wajahmu dan kelembutan tutur
sapamu,” puji Pengembara itu mencoba untuk mencuri hati sang Gadis.
”O
iya, nama saya Bujang Kelana,” sambung Pengembara Muda itu sambil
memperkenalkan namanya.
”Kalau
boleh tahu, Abang dari mana dan apa maksud kedatangan Abang ke tempat ini?”
tanya Suri ingin tahu.
”Abang
ini seorang pengembara hendak berguru di tempat ini. Kabar yang tersiar di
negeri Abang, di tempat ini ada seorang guru yang alim sedang mencari murid
untuk mewariskan ilmunya. Apakah Adik mengetahui guru itu?” Bujang Kelana balik
bertanya.
”Iya,
memang di tempat ini ada seorang guru terkenal yang bernama Tuk Solop. Namun,
sejak murid-muridnya pindah berguru kepada Pendekar Katung, ia pun pergi entah
ke mana,” jelas Suri.
”Pendekar
Katung? Rasanya Abang pernah mendengar nama itu. Apakah adik juga mengenalnya?”
tanya Bujang Kelana penasaran.
Mendengar
pertanyaan itu, gadis cantik langsung pergi tanpa memberikan jawaban sedikit
pun. Sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu.
”Suri....!
Kenapa kamu pergi?” teriak Bujang Kelana.
”Kembalilah,
Abang belum selesai bicara!” teriaknya lagi.
”Kalau
Abang mau bicara denganku, tunggu aku besok pagi di tempat ini,” jawab Suri
sambil berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Bujang
Kelana sangat heran dan terdiam. Kenapa saat menyebut nama Pendekar Katung,
tiba-tiba ia pergi begitu saja. ”Ada apa gerangan dengan Suri? Apa aku telah
menyinggung perasaannya?” pikirnya dalam hati sambil melayangkan pandangannya
ke arah Suri yang berlari menuju ke hutan.
Setelah
Suri menghilang di balik pepohonan, Bujang Kelana pun berniat pergi. Namun,
ketika hendak beranjak, tiba-tiba seorang laki-laki buta sedang memegang
tongkat keluar dari balik semak-semak sambil berjalan tertatih-tatih
menghampirinya. Bujang Kelana pun mulai takut.
”Hai,
Anak Muda! Kamu tidak usah takut. Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian.
Perlu kamu ketahui, gadis cantik itu adalah adik Pendekar Katung,” ujar Datuk
Buta itu.
”Tapi,
kenapa dia pergi saat saya menyebut nama Abangnya itu?” tanya Bujang Kelana
penasaran.
”Pendekar
Katung adalah pemuda yang gagah berani dan sakti. Tapi sayang, ia tidak
menggunakan ilmu kesaktiannya untuk kebajikan. Ia seorang pendekar aliran ilmu
hitam. Kesaktiannya ia gunakan untuk menyiksa orang lain. Selain itu, ia juga
sangat gemar menyabung ayam. Apa pun ia jadikan sebagai taruhan. Jangankan
harta, nyawanya sekali pun ia pertaruhkan,” jelas Datuk Buta itu.
”O,
iya, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa datang ke tempat ini?” Datuk Buta itu
balik bertanya kepada Bujang Kelana.
”Kedatangan
saya ke tempat ini hendak berguru kepada Tuk Solop,” jawab Bujang Kelana.
”Ooo...
begitu!” sahut Datuk Buta sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Apakah
Datuk mengetahui keberadaannya?” tanya Bujang Kelana.
”Tuk
Solop sudah lama meninggalkan tempat ini. Saya juga tidak tahu ke mana perginya.
Ia pergi karena tidak ada lagi yang mau berguru kepadanya. Orang-orang benci
kepadanya, karena dipengaruhi oleh Pendekar Katung. Sebenarnya, ia sudah lama
mencari seorang murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, namun tidak seorang
pun yang bersedia. Akhirnya, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Datuk Buat itu.
Usai
memberikan penjelasan kepada Bujang Kelana, Datuk Buta itu bergegas mohon diri,
karena dari kejauhan ia merasakan seseorang sedang menuju ke arah mereka
melalui indra keenamnya. Bujang Kelana pun semakin heran.
”Kenapa
orang-orang yang saya temui di tempat ini semuanya tergesa-gesa pergi? Aneh,
sungguh aneh!” gumam Bujang Kelana penuh rasa heran.
Benar
firasat Datuk Buta itu, beberapa saat kemudian, Suri tampak berlari menuju arah
Bujang Kelana.
”Bang!
Tolong Suri, Bang!” seru Suri tergesa-gesa dengan nafas yang masih
tersengau-sengau.
”Apa
yang terjadi denganmu, Suri? Bukankah Suri besok pagi baru kembali ke mari?”
tanya Bujang Kelana penasaran.
”Pendekar
Katung hendak menikahiku,” jawab Suri sambil menoleh ke belakang, karena takut
Pendekar Katung menyusulnya.
”Kenapa
bisa? Bukankah dia itu Abangmu?” tanya lagi Bujang Kelana.
”Sudahlah,
Bang! Jangan banyak tanya dulu! Ayo kita pergi dari sini!” ajak Suri sambil
menarik tangan Bujang Kelana.
Bujang
Kelana tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti kemauan Suri. Setelah
merasa aman dari kejaran Pendekar Katung, Suri pun menceritakan perihal dirinya
bahwa sebenarnya ia bukanlah adik kandung Pendekar Katung. Ibunya telah
meninggal semasa Suri masih kecil. Sejak itu Suri hidup bersama ayahnya. Namun,
ayahnya dipengaruhi oleh Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam. Ayahnya
selalu kalah taruhan dalam gelar sabung ayam. Akhirnya, ayahnya bangkrut. Rumah
sebagai harta mereka satu-satunya juga melayang, karena kalah taruhan. Oleh
karena tidak lagi memiliki harta yang bisa dipertaruhkan, akhirnya ayahnya
nekad mempertaruhkan nyawanya. Namun, malang nasib ayahnya, ayam jagonya kalah
dan mati di tengah gelanggang. Ayahnya pun disiksa dan dibunuh, lalu dibuang ke
tengah hutan. Sejak itu, Suri diasuh oleh Pendekar Katung hingga dewasa seperti
sekarang ini.
”Abang
ikut prihatin atas musibah yang menimpa ayahmu, Suri!” kata Bujang Kelana
dengan perasaan haru setelah mendengar cerita Suri.
Dalam
suasana haru itu, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Datuk Buta di
hadapan mereka.
”Eh,
Datuk! Kenapa Datuk masih di sini? Bukankah tadi Datuk sudah pergi?” tanya
Bujang Kelana terkejut.
”Aku
tidak pergi. Aku bersembunyi di balik semak-semak itu,” jawab Datuk Buta itu.
”Kalau
benar yang diceritakan Suri itu, berarti aku adalah ayahnya,” lanjutnya.
”Apa
maksud, Datuk?” tanya Suri terkejut seolah-olah tidak percaya.
”Benar,
Suri! Aku adalah ayahmu. Dulu namamu adalah Intan. Namun rupanya Pendekar Katung
yang bejat itu telah mengganti namamu. Tapi, tak apalah, Nak! Karena semua
orang lebih mengenalmu Suri daripada Intan. Mulai sekarang namamu Intan Suri,”
jelas Datuk Buta itu.
”Tapi,
kenapa Datuk masih hidup? Bukankah Datuk telah dibunuh Pendekar Katung?” tanya
Suri penasaran.
”Panjang
ceritanya, Nak! Nanti Ayah ceritakan semua setelah Pendekar Katung yang biadab
itu mati,” jawab Datuk Buta.
Suri
pun merasa yakin, kalau Datuk Buta itu adalah ayahnya. Ia pun segera
memeluknya. Sang Ayah pun membalas pelukan putrinya yang sudah lama ia
rindukan.
”Maafkan
Ayah, Nak! Ayah sangat menyesal, karena membuat hidupmu sengsara,” kata Datuk
Buta itu sambil meneteskan air mata.
”Tidak
apa-apa, Ayah! Yang penting sekarang kita sudah berkumpul kembali,” jawab Suri
yang kini memanggil Ayah kepada Datuk Buta itu.
”Baiklah,
Nak! Sekarang mari kita mengatur siasat bagaimana cara menyingkirkan Pendekar
Katung dari muka bumi ini!” seru Ayah Suri.
”Tapi,
Ayah! Pendekar Katung itu sangat sakti. Ia kebal terhadap segala senjata
tajam,” kata Suri dengan perasaan khawatir.
”Tidak
perlu khawatir, Nak! Ayah tahu kelemahannya,” jawab Ayahnya dengan penuh
keyakinan.
Suri dan Ayahnya serta Bujang Kelana
pun bermusyawarah untuk mengatur siasat bagaimana membinasakan Pendekar Katung.
Pertama-tama mereka bermufakat untuk mengganti ayam jago Pendekar Katung dengan
ayam milik Ayah Suri yang mirip sekali dengan ayam jago Pendekar Katung.
Setelah itu, mereka akan menantang Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam
yang diwakili oleh Bujang Kelana. Kini penantang Pendekar Katung bukan lagi
penduduk Negeri Serimba, melainkan seorang pemuda dari sebuah negeri nun jauh
di sana. Pelaksanaan pagelaran akbar itu pun diumumkan di berbagai tempat.
Seluruh penduduk Serimba maupun negeri-negeri di sekitarnya sudah mengetahui
pagelaran akbar itu.
Pagelaran akbar yang ditunggu-tunggu
oleh khalayak ramai pun tiba. Seluruh penduduk Negeri Serimba dan negeri-negeri
sekitarnya telah berkumpul ingin menyaksikan pertarungan yang mendebarkan itu.
Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Tampak Tim Yuri duduk di
pinggir lapangan menyaksikan dengan seksama untuk memberikan penilaian.
Pada awalnya, pertandingan itu tampak
seimbang. Ayam jago Pendekar Katung yang sebetulnya hanyalah ayam jago biasa
mampu memberikan perlawanan. Namun, karena ayam jago Bujang Kelana adalah ayam
jago Pendekar Katung yang terkenal ganas dan gesit itu, maka hanya dalam
hitungan menit saja, ayam jago Pendekar Katung mulai terdesak dan akhirnya mati
tidak berdaya.
Pendekar Katung yang menyaksikan
pertarungan itu sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia sangat malu, karena
yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak hanya penduduk Negeri Serimba,
tetapi juga dari negeri-negeri lain.”Ah, mustahil ayam jagoku mati!” seru Pendekar
Katung mulai kesal.
Oleh karena tidak terima ayam jagonya
kalah, Pendekar Katung mulai naik pitam. Ia pun segera memerintahkan beberapa
pengawal setianya untuk mengusir Bujang Kelana. Mengetahui dirinya terancam,
Bujang Kelana pun segera melarikan diri ke Pantai Solop untuk menemui Datuk
Buta dan Suri yang sengaja tidak hadir menyaksikan pertarungan itu.
”Pengawal!
Ayo kita kejar pemuda brengsek itu!” perintah Pendekar Katung.
Pendekar
Katung beserta puluhan pengawalnya mengejar Bujang Kelana sampai ke Pantai
Solop. Di pantai berpasir putih itu Bujang Kelana terdesak. Belum sempat
menemui Datuk Buta, tiba-tiba ia sudah diserang oleh beberapa pengawal Pendekar
Katung. Bujang Kelana pun tidak mau mengalah begitu saja. Pantang menyerah
sebelum ajal tiba, tekadnya.
Bujang
Kelana melakukan perlawanan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Awalnya, ia
mampu menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Namun, karena
dikeroyok oleh beberapa orang, ia pun mulai terdesak. Tidak dapat dielakkan lagi,
seorang pengawal Pendekar Katung menusukkan tombaknya. Untung tombak itu hanya
mengoyak paha Bujang Kelana.
Pada saat yang bersamaan, dengan
secepat kilat, Datuk Buta melompat dari balik semak-semak langsung mencekik
leher Pendekar Katung dari belakang. Pendekar Katung pun meronta-ronta dan
berusaha untuk melepaskan diri. Namun, cekikan Datuk Buta sangat kuat, sehingga
ia tidak dapat bergerak.
”Bujang
Kelana! Cepat tusukkan senjatamu ke perut Pendekar Katung!” teriak Datuk Buta.
Bujang Kelana tidak dapat langsung
menusukkan senjatanya kepada Pendekar Katung, karena ia masih kewalahan menahan
serangan dari para pengawal Pendekar Katung yang datang bertubi-tubi.
”Cepat,
Kelana! Tubuh Pendekar Katung akan tembus ditusuk senjata jika ia dipeluk oleh
orang buta,” teriak lagi Datuk Buta.
Mengetahui
kelemahan Pendekar Katung itu, Bujang Kelana segera mengadakan perlawanan.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berbalik menyerang. Setelah para
pengawal Pendekar Katung terdesak, dan bahkan sebagian lari tunggang-langgang
menuju ke semak-belukar, dengan secepat kilat Bujang Kelana segera menusukkan
senjatanya bertubi-tubi ke bagian perut dan dada Pendekar Katung. Seketika itu
pula, Pendekar Katung langsung lemas tidak berdaya. Datuk Buta pun segera menghempaskan
tubuh Pendekar Katung ke atas pasir.
”Hei,
Katung! Kamu tahu siapa aku. Aku adalah Ayah Suri yang pernah kamu bunuh dan
buang di tengah hutan. Tapi karena umurku masih dipanjangkan oleh Yang Kuasa,
aku masih bisa hidup hingga sekarang,” ujar Datuk Buta.
”Gurumulah yang telah menyelamatkanku.
Beliau juga yang telah memberitahukan kepadaku tentang kelemahanmu,” tambah
Datuk Buta.
Pendekar
Katung yang sudah sekarat itu tidak dapat memberikan jawaban sedikit pun.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Katung pun mengembuskan nafas terakhirnya.
Melihat tuannya mati, beberapa pengawalnya yang masih tersisa langsung
melarikan diri.
”Terima
kasih, Kelana, karena telah membantuku menyingkirkan Pendekar Katung. Mari kita
temui Intan Suri!” ajak Datuk Buta.
Namun,
baru akan beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba Intan Suri keluar dari balik
semak-semak dengan berlumuran darah.
”Suri,
apa yang terjadi denganmu?” tanya Bujang Kelana panik.
”Seorang
pengawal Pendekar Katung mengetahui tempat persembunyianku di balik semak-semak
itu. Ia hendak membunuhku, karena mengetahui aku yang telah menukar ayam jago
tuannya,” jelas Suri dengan nada lemas.
”Bang
Bujang! Maafkan Suri, Bang! Suri mencintai Abang, tapi mungkin kita tidak
ditakdirkan hidup bersama,” sambung Suri meneteskan air mata.
”Jangan
berkata begitu, Dik! Kita pasti akan hidup bersama, karena Abang juga sangat
mencintai Adik,” ungkap Bujang Kelana dengan sedih.
”Bang,
tolong jaga negeri dan penduduk Serimba serta Pantai Solop ini agar tetap aman
dan damai,” pesan Suri terbatuk-batuk.
Beberapa
saat kemudian, denyut nadi Intan Suri berhenti berdetak. Rupanya pesan itu
merupakan pesan terakhir Intan Suri sebelum mengembuskan nafas terakhirnya.
Mengetahui kekasihnya telah meninggal dunia, Bujang Kelana berteriak dengan
sekeras-kerasnya.
”Intan
Suriiiiiii.....!!!”
Usai
berteriak, Bujang Kelana terdiam kaku dengan air mata berlinang memandang wajah
kekasihnya yang cantik jelita itu.
”Sudahlah,
Nak Kelana! Aku juga sangat sedih ditinggal oleh putri semata wayangku. Aku
merasa sangat berdosa, karena tidak dapat menjaganya dengan baik,” ucap Datuk
Buta dengan penuh penyesalan.
”Sebaiknya
jenazah Intan Suri kita bawa ke pondokku yang berada di di tengah hutan ini!”
ujar Datuk Buta.
Usai
menyiapkan segala sesuatunya, mereka pun segera menguburkan jenazah Intan Suri
di dekat pondok Datuk Buta.
”Datuk!
Kelana juga akan pergi dari negeri ini sebagaimana Intan Suri telah pergi untuk
selama-lamanya,” ujar Bujang Kelana kepada Datuk Buta.
Setelah
berkata begitu, Bujang Kelana mengambil sangkar ayam yang terletak di samping
pondok Datuk Buta. Kemudian ia bergegas menuju ke Pantai Solop. Sesampai di
pantai, dengan sekuat tenaga ia melemparkan sangkar ayam itu ke tengah laut.
”Aku
bersumpah, walaupun sangkar ayam itu akan menjadi pulau, aku tidak akan kembali
ke negeri ini!” teriak Bujang Kelana bersumpah.
Setelah
itu, Bujang Kelana pun meninggalkan Pantai Solop yang indah itu. Ia pergi
berkelana mengikuti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia tidak
ingin tinggal di Pantai Solop, karena takut teringat dengan kekasihnya yang
telah pergi untuk selama-lamanya.
Konon, setelah
bertahun-tahun Bujang Kelana meninggalkan Pantai Solop, sangkar ayam yang
dilemparkan ke tengah laut itu benar-benar menjelma menjadi sebuah pulau. Pulau
itu berada tepat berhadapan dengan Pantai Solop. Oleh masyarakat setempat,
pulau itu mereka beri nama Pulau Sangkar Ayam.
LEGENDA BATU
RANTAI, TEMASIK DILANDA TODAK
Berdasarkan catatan sejarah, negara
Singapura dulunya bernama negeri Temasik. Istilah “Temasik” ini diambil dari
bahasa Jawa Kuna tumasik yang berarti menyerupai laut, sedangkan dalam
bahasa Melayu berarti hutan rawa. Negeri ini dinamakan Temasik karena berada di
tepi laut yang dihuni oleh nelayan Bumiputera (suku-bangsa Melayu). Menurut
sebuah legenda, pada awalnya nelayan Bumiputra hidup tenteram, damai, dan
makmur. Namun, sejak diperintah oleh seorang raja yang sangat kejam dan angkuh,
maka rakyat Bumiputera menjadi resah dan menderita. Karena kekejaman dan
keangkuhan raja itu pulalah, negeri Temasik dilanda malapetaka yang sangat
dahsyat. Suatu hari, negeri Temasik diserang oleh ikan Todak yang sangat ganas,
sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban dari nelayan Bumiputra yang hidup
di tepi laut. Kemudian negeri Temasik ini diselamatkan oleh seorang anak kecil
bernama si Kabil. Legenda ini masih berkembang di kalangan masyarakat Singapura
yang dikenal dengan Legenda Batu Rantai: Temasik Dilanda Todak.
Tersebutlah dalam sebuah kisah beberapa
abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja
yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu ketika, Raja itu tega menghukum
mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang dari Pasai bernama Tun Jana
Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia secara tidak sengaja
berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja yang melihat kejadian
itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk menjatuhkan hukuman itu.
Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk menangkap dan
menghukum mati sang Ulama.
Namun, sebelum hukuman mati itu
dilaksanakan, sang Ulama berpesan kepada penduduk Temasik. "Wahai kalian penduduk Temasik! Ketahuilah! Aku rela
dengan kematian ini! Tetapi raja yang zalim itu tak akan lepas begitu saja. Dia
akan membayar harga atas kezaliman itu...Dan percayalah di negeri ini akan
terjadi huru-hara! Negeri ini akan ditimpa malapetaka yang sangat
dahsyat....!!!". Selesai menyampaikan pesan, sang Ulama pun dihukum mati. Dadanya ditusuk
sebila keris oleh pengawal istana hingga tersungkur tak berdaya. Sesaat setelah
sang Ulama dihukum, terjadilah sebuah peristiwa gaib. Pada saat jenazah sang
Ulama dibawa ke pemakaman, tiba-tiba mayatnya menghilang. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba petir menyambar dan menggemparkan negeri Temasik, lalu
disusul dentuman suara keras. Penduduk Temasik kemudian berlari menyelamatkan
diri dan pergi ke tempat di mana sang Ulama dihukum. Suasana Temasik semakin
gempar setelah penduduk menemukan bekas darah sang Ulama di tempat kejadian itu
berubah menjadi batu.
Peristiwa gaib di atas adalah pertanda
akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari, tiba-tiba
Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan
yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke
pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan
itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara
mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang
Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana
menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya
di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian
memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun
upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari,
penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah.
Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.
Meskipun banyak penduduk yang menjadi
korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak seorang pun yang berani
meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk tetap berdiri mematuhi
titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk yang menahan sakit
tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja justru diam-diam
bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada saat sang Raja
sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak. Ia berusaha
menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang Raja amat
cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku robek!” jerit
sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang menghiraukan. Tak
seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba muncul
seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang Raja. “Percuma saja Temasik
dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan
Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu mengingatkan. Mendengar
suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja segera bertanya: “Hei,
budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga beraninya engkau menasihatiku?”
tanya sang Raja dengan nada kesal.
Dengan santun, anak kecil itu
menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba bernama Kabil. Hamba
datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya menyembah. “Hamba hidup di
pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak. Ikan Todak tidak dapat
dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan batang pisang. Apabila Sang
Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari dengan batang pisang,” kata
Kabil setengah memohon.
“Batang
pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan
batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu
akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan
kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja. Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada
panglima dan rakyatnya, “Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian,
angkutlah batang pisang sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan
batang pisang!” Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang
ada di tempat kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang.
Setelah mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak
lama kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan
Todak yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga
menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya
dan kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat negeri Temasik pun bersuka ria,
karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda berakhirnya kesedihan itu, maka
dibuatlah pantun ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun, di tengah
suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain. Mereka
menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri Temasik.
Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun, Baginda
Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari anak itu
akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah satu
pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah pintar,
hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,” tambah
pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si Kabil
ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan kembali
lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam kurungan
baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,” titah
sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan harinya, Kabil pun ditangkap,
kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja, dikunci dan diikat dengan rantai
besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan dikawal sang Raja dan beberapa
pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan Pulau Segantang Lada, tempat
dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama, mereka pun sampai di tempat
tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di Perairan Pulau Segantang
Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja. “Tenggelamkan anak kecil itu!”
perintah sang Raja. Namun, sebelum ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang
Raja. “Beginikah balasan Baginda Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain
yang lebih baik untuk menghindari kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum
rela mati muda,” ratap Kabil dari dalam kurungan.
Sang Raja hanya bergeming mendengar ratapan Kabil. Setelah itu
diperintahkannya pengawal istana untuk segera menenggelamkan kurungan yang berisi
Kabil itu. “Byuuurr....byuuurr....byuuur....” terdengar bunyi suara air ketika
kurungan diceburkan ke dalam laut di karang Kepala Sambu. Tak lama kemudian,
Kabil pun mati dalam keadaan yang mengenaskan, setelah ia baru saja berjasa
menyelamatkan nyawa penduduk negeri Temasik.
Sejak peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus
mendesah, “Byuuurr ... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih
yang menyayat. Ombak yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang
yang meronta-ronta. Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang
melintasi gugusan pulau tersebut selalu menghindari karang berbahaya di
perairan Sambu ini untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda
Batu Rantai ini berada di antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan
Riau, Indonesia.
BY: PUTRA PERDANA