Riau - Indonesia
* * *
Konon, di sebuah dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua yang bernama Mak Minah. Ia hidup bersama ketiga anaknya. Anak pertama dan keduanya laki-laki, bernama Utuh dan Ucin. Sementara anak ketiganya seorang perempuan, bernama Diang.
Sejak ditinggal mati suaminya, Mak Minah-lah yang bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Meskipun sudah tua, Mak Minah masih bersemangat dan tekun bekerja. Setiap pagi, ia sudah bangun memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah beres, Mak Minah segera berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Hasil penjualannya itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannya dan ketiga anaknya.
Ketiga anak Mak Minah masih kanak-kanak. Mereka sangat nakal dan pemalas. Sehari-hari mereka hanya bermain. Mereka tidak pernah membantu emaknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Mereka tidak merasa iba melihat emaknya setiap hari bekerja keras membanting tulang sendirian untuk menghidupi mereka. Bahkan, mereka sering membantah nasihat emaknya hingga membuat Mak Minah bersedih.
Pada suatu sore, ketiga anak Mak Minah sedang asyik bermain tidak jauh dari rumah mereka. “Utuh, Ucin, Diang… !” teriak Mak Minah memanggil ketiga anaknya. Meskipun mereka telah mendengar panggilan emaknya, ketiga anak itu diam saja. “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” lanjut Mak Minah.
Ketiga anak itu masih asyik bermain tanpa menghiraukan seruan emaknya. Tak lama kemudian, Mak Minah kembali memanggil mereka. “Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari sudah gelap. Hari ini Emak kurang enak badan. Masaklah untuk makan malam!” seru Mak Minah. Usai berseru kepada ketiga anaknya, Mak Minah kembali merebahkan tubuhnya yang lemas ke pembaringan. Setelah menunggu beberapa saat, ketiga anaknya tetap saja asyik bermain. Mereka tidak menghiraukan panggilan Mak Minah. Beberapa saat menunggu, ketiga anaknya tidak mau berhenti bermain. Akhirnya, Mak Minah pergi ke dapur untuk memasak, meskipun badannya sangat lemas.
Tak berapa lama, makanan sudah siap. Mak Minah kembali memanggil ketiga anaknya. “Utuh, Ucin, Diang… ! Pulanglah, Nak! Makan malam kalian sudah Emak siapkan.” Setelah mendengar makan malam mereka siap, baru mereka beranjak dan berhenti bermain. Lalu, ketiga anak tersebut, langsung menuju ke dapur menyantap makanan yang sudah disiapkan emaknya. Dengan lahapnya, mereka menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya. Usai mereka makan, bukannya membantu emaknya mencuci piring, malah mereka kembali bermain.
Malam pun semakin larut. Sakit Mak Minah semakin parah. Seluruh badannya terasa pegal-pegal dan sangat lemah karena kelelahan bekerja seharian. “Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijitin Emak, Nak!” rintih Mak Minah memanggil anaknya. Tapi, anak-anaknya pura-pura tidak mendengar. Mereka terus saja bermain hingga larut malam tanpa mengenal waktu.
Mak Minah sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali meratapi nasibnya. “Ya Tuhan, tolonglah hamba! Sadarkanlah ketiga anak-anakku, agar mereka mau perduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” Mak Minah berdoa sambil meneteskan air mata. Usai berdoa, Mak Minah pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mak Minah sudah bangun memasak nasi dan lauk yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, tanpa sepengetahuan anaknya, Mak Minah pergi ke tepian sungai di dekat gubuknya. Ia mendekati sebuah batu yang konon bisa berbicara seperti manusia. Batu itu juga bisa membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
Di depan batu itu, Mak Minah berlutut dan memohon kepada batu itu agar menelan dirinya. “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya sudah tidak sanggup lagi hidup bersama ketiga anak saya yang tidak mau mendengar nasihat,” pinta Mak Minah.
“Apakah engkau tidak menyesal, Mak Minah?” jawab Batu Batangkup. “Lalu, bagaimana nasib anak-anakmu?” Batu Batangkup kembali bertanya.
“Biarlah mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka juga sudah tidak mau perduli pada emaknya,” jawab Mak Minah.
“Baiklah, jika itu yang engkau inginkan,” kata Batu Batangkup.
Dalam waktu sekejap, Batu Batangkup menelan tubuh Mak Minah dan hanya menyisakan rambutnya yang panjang hingga masih tampak di luar.
Sementara itu, ketika hari menjelang sore, ketiga anak Mak Minah pulang dari bermain. Mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan Mak Minah. Mereka heran, karena emak mereka belum juga pulang. Karena melihat persediaan makanan masih banyak, mereka tetap tidak peduli dengan emak mereka.
Menjelang hari kedua, persediaan makanan mereka sudah habis. Sementara Mak Minah belum juga pulang ke rumah. Ketiga anaknya pun kebingungan mencari Mak Minah karena mereka sudah kelaparan. Setelah mencari ke sana ke mari, mereka tidak menemukan Mak Minah. “Maafkan kami, Emak! Kami sangat menyesal menyiakan-nyiakan Emak…,” ratap ketiga anak tersebut. Hingga larut malam, mereka terus meratap dan menangis karena kelaparan. Tapi, karena kecapaian seharian bermain, akhirnya mereka pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, ketiga anak tersebut kembali mencari emak mereka. Setelah menyusuri sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka, sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Alangkah terkejut ketika mereka melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup.
“Wahai, Batu Batangkup! Keluarkanlah Emak kami dari perutmu. Kami membutuhkan Emak kami,” pinta ketiga anak itu. Batu Batangkup diam saja. Tapi ketiga anak itu terus meratap memohon agar emak mereka dilepaskan.
“Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian pada saat lapar. Kalian tidak pernah mau membantu dan mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup. Ketiga anak itu pun terus meratap dan menangis.
“Batu Batangkup! Kami berjanji untuk membantu emak dan mematuhi nasihat emak kami,” jawab Utuh menangis. “Iya, Batu Batangkup, kami berjanji,” sambung Uci dan Diang, lalu keduanya turut menangis.
“Baiklah, emak kalian akan aku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Tetapi jika kalian mengingkari janji, emak kalian akan kutelan kembali,” kata Batu Batangkup mengancam. Mereka pun sepakat dengan perjanjian itu. Batu Batangkup kemudian mengeluarkan Mak Minah dari perutnya. Utuh, Ucin dan Diang segera memeluk Mak Minah.
“Maafkan Utuh, Emak! kata Utuh minta maaf. “Maafkan Uci juga, Mak! Uci berjanji akan mematuhi nasihat Emak,” sambung Uci. “Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang berjanji akan membantu Emak!” kata Diang. “Sudahlah, Anakku! Kalian sudah Emak maafkan,” kata Mak Minah dengan haru. Setelah itu, mereka pun pulang dengan perasaan gembira, karena mereka bisa berkumpul kembali.
Sejak saat itu, setiap hari ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci membantu emaknya mencari kayu bakar di hutan untuk di jual ke pasar. Sementara Diang, sibuk di rumah menyiapkan makanan untuk kedua emak dan kedua abangnya. Mak Minah sangat gembira dan bahagia melihat perubahan perilaku anaknya.
Namun sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Perilaku ketiga anaknya tersebut kembali berubah. Justru, mereka semakin nakal dan pemalas. Utuh dan Uci tidak pernah lagi membantu emaknya mencari kayu bakar. Demikian pula Diang, ia tidak pernah memasak di rumah. Bahkan, mereka semakin berani membantah nasihat emak mereka. Hal itu membuat hati Mak Minah semakin sedih.
Pada suatu malam, Mak Minah memasak nasi dan lauk cukup banyak. Rupanya, Mak Minah sudah tidak tahan melihat perilaku anaknya. Pada saat tengah malam, di saat ketiga anaknya tertidur lelap, Mak Minah ingin kembali ke Batu Batangkup. Sebelum berangkat, Mak Minah mencium dan menyelimuti anaknya satu per satu.
Dengan perasaan sedih, Mak Minah meninggalkan ketiga anaknya. Di depan Batu Batangkup, Mak Minah berlutut dan memohon, “Wahai, Batu Batangkup! Telanlah saya kembali. Mereka benar-benar tidak mau menghormatiku lagi,” kata Mak Minah pasra. Tanpa menunggu lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah.
Keesokan harinya, ketiga anaknya kembali bermain seperti biasanya. Mereka tidak menghiraukan emaknya. Dikiranya, emaknya pergi ke hutan mencari kayu. Yang penting bagi mereka, saat lapar makanan sudah siap. Menjelang sore hari, Mak Minah belum pulang ke rumah. Mereka kemudian tersadar, ternyata mereka telah melanggar janji yang pernah mereka sepakati untuk tidak nakal lagi.
Tanpa berpikir panjang, ketiga anak itu segera berlari ke Batu Batangkup. “Maafkan kami, Batu Batangkup! Kami sangat menyesal. Keluarkanlah emak kami dari perutmu!” ratap ketiga anak itu sambil menangis.
“Kalian memang anak nakal. Kali ini aku tidak akan memaafkan kalian,” jawab Batu Batangkup dengan kesal. Batu Batangkup kemudian menelan ketiga anak itu. Setelah tubuh ketiga anak itu sudah masuk di dalam perutnya, Batu Batangkup itu pun masuk ke dalam tanah. Sampai sekarang Batu Batangkup itu tidak pernah muncul lagi.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat pemalas, nakal dan suka membantah nasihat orang tua. Ketiga sifat ini tercermin pada sifat Utuh, Uci dan Diang. Ketiga anak tersebut sangat nakal dan tidak mau membantu emaknya yang sudah tua untuk mencari nafkah. Bahkan, mereka berani membantah nasihat emaknya. Ketiga sifat yang dimiliki anak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, ketiga sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang tercela dan sangat dipantangkan.
Bagi mereka, orang yang malas, berlalai-lalai, dan tidak tekun diangap sebagai orang yang tidak bertanggungjawab dan tidak tahu akan hak dan kewajibannya.
Awang Garang, Panglima Laut Bermata Satu
Riau - Indonesia
* * *
Alkisah, beberapa abad yang lalu, di sebuah daerah di pesisir Riau, hiduplah seorang pemuda miskin yang bernama Awang Garang. Kegiatan sehari-harinya menangkap ikan di karang pantai. Sejak kecil, ia bercita-cita ingin menguasai laut. Untuk meraih cita-citanya itu, ia rela menjadi tukang masak pada sebuah kapal layar, meskipun tidak dibayar, agar dapat ikut berlayar mengarungi selat dan lautan di sekitar Kepulauan Segantang Lada. Sifatnya yang rajin, membuat para Datuk dan Batin sayang kepada Awang Garang. Ia bahkan dipercaya menjadi pembantu tukang kapal.
Suatu hari, Sultan Riau memerintahkan para Datuk dan Batin untuk membuat penjajap. Pembuatan penjajap itu Sultan mempercayakannya kepada tujuh Datuk dan Batin di Temiang, Moro Sulit, Sugi, Bulang, Pekaka, Sekanan, dan Mepar. Tidak ketinggalan pula Awang Garang dalam kegiatan itu. Tempat pembuatannya disepakati bersama di sebuah pulau antara Bulang Rempang dan Bintan.
Sudah tiga bulan pembuatan kapal itu berlangsung, namun tidak ada tanda-tanda kapal itu akan berbentuk. Bahan kayu sudah berkali-kali diganti, dari kayu medang tanduk berganti kayu medang tembaga, namun tetap juga tidak menampakkan hasil. Para Datuk dan Batin mulai cemas. Mereka khawatir Sultan akan murka mendengar kegagalan tersebut.
Di tengah rasa cemas itu, tiba-tiba Awang Garang angkat bicara. “Maaf, Tuan-tuan! Sepengetahuan saya, pembuatan kapal perang itu harus memakai tiga jenis kayu untuk satu kapal,” ucapan Awang Garang mengejutkan semua Datuk dan Batin. “Hai Awang, janganlah asal bicara! Apakah kata-katamu itu dapat dipertanggungjawabkan?” tanya seorang Datuk. “Apabila kata-katamu tidak terbukti, maka hukuman berat akan kamu terima,” sambung seorang Batin dengan nada mengancam. “Baiklah, Tuan-tuan. Akan saya buktikan bahwa perkataan saya benar,” kata Awang Garang dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, para tukang sibuk mempersiapkan tiga jenis kayu seperti yang diusulkan oleh Awang Garang. Papan kapal mereka buat dari kayu medang sirai. Kerangka dalam perahu yang berbentuk seperti gading, mereka buat dari kayu penaga. Sementara lunas kapal itu mereka buat dari kayu keledang. Setelah tiga bulan, pembuatan kapal itu tampak mendekati selesai. Sultan yang menerima kabar itu sangat senang dan melipatgandakan pembayarannya. Tukang-tukang pun semakin giat bekerja.
Pada suatu hari, ketika Awang Garang sedang mengawasi tukang yang sedang memotong kayu, tiba-tiba tatal kayu terlempar dan mengenai mata kanannya. “Ya, Allah, pecah bola mataku,” jerit Awang Gerang menahan sakit. Tanpa disadari, tiba-tiba ia berkata dengan nada kesal, “Dasar kapal sial, kusumpah kapal ini tidak bisa diturunkan ke laut!”
Mata kanannya yang buta itu ia tutupi dengan penutup mata berwarna hitam. Awang Garang pun pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu tukang penjajap. Ia kembali ke desanya menjalani kehidupannya seperti semula yaitu menangkap ikan di karang pantai.
Dua bulan setelah ditinggalkan Awang Garang, pembuatan penjajap itu pun selesai. Akhirnya tibalah saatnya untuk diturunkan ke laut. Seluruh tukang telah dikerahkan untuk menurunkannya ke laut, namun penjajap itu tidak bergeser sedikit pun. Jangankan penjajap itu bergeser, bergerak pun tidak. Sementera Sultan telah bertitah agar penjajap itu harus segera melaut untuk menumpas para lanun yang semakin merajalela di perairan Riau. Para Datuk dan Batin mulai gelisah. Mereka khawatir mendapat murka dari Sultan.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba seorang Batin berbicara, “Sebaiknya kita harus memanggil Awang Garang. Ia pernah menyumpahi kapal itu sebelum meninggalkan pulau ini beberapa bulan yang lalu. Barangkali ia memiliki cara lain untuk menurunkan kapal itu ke laut.” Usulan Batin itu diterima oleh para Datuk dan Batin yang lainnya. Maka, diutuslah salah seorang Datuk untuk mencari Awang Garang dan memintanya datang ke pulau itu.
Sesampainya di rumah Awang Garang, Datuk itu mendapati Awang Garang sedang duduk di depan pintu rumahnya. “Hai, Awang Garang! Bukankah telah engkau sumpahi kapal itu agar tidak bisa melaut?” tanya Datuk kepada Awang Garang. “Kamu harus menurunkan kapal itu. Kalau tidak, hukuman berat akan kamu terima!” tambah Datuk mengancam.
“Baiklah, Datuk! Saya bersedia menurunkan kapal itu, asalkan Datuk memenuhi persyaratannya,” jawab Awang Garang tenang. “Ya, kami bersedia memenuhi apapun persyaratan yang kamu minta,” kata Datuk dengan mantap tanpa bertanya terlebih dahulu mengenai persyaratan yang akan diajukan Awang Garang.
Mendengar persetujuan dari Datuk, Awang Garang pun segera mengajukan persyaratannya. “Dengar, Datuk! Saya mempunyai tiga persyaratan yaitu pertama, berikan tiga puluh tujuh pemuda pembantu, lengkap dengan perkakasnya. Kedua, semua Datuk dan Batin harus menyaksikan penurunan kapal itu dengan kedua mata tertutup. Ketiga, siapkan tujuh wanita yang sedang mengandung anak sulung, dan berpakaian tujuh warna. Tujuh wanita itu harus anak atau kerabat dari Datuk dan Batin sendiri.”
Setelah mengetahui persyaratan yang diajukan Awang Garang, Datuk itu pun segera melaporkannya kepada Datuk dan Batin lainnya. Oleh karena terdesak waktu dan takut mendapat murka dari Sultan, para Datuk dan Batin pun bersedia menerima syarat-syarat tersebut, meskipun mereka rasa sangat janggal dan berat.
Setelah persyaratan dilengkapi, maka pada saat purnama, ketika air laut pasang, semua hadirin telah datang dan ditutup kedua mata mereka dengan kain. Kemudian Awang Garang membisiki tiga puluh tujuh pemuda tersebut untuk melakukan sesuatu yang tidak diketahui oleh para Datuk dan Batin. Menjelang malam tiba, terdengar bunyi peralatan berlepuk-lepuk diiringi jerit dan raung tujuh wanita yang mengandung sulung tersebut. “Tolooong... ! Jangan lindas perut kami! Tolooong...!” tangis para wanita itu. Para Datuk dan Batin yang tertutup matanya menjadi cemas, ngeri dan gelisah mendengar suara tangis tersebut.
Di tengah suasana gaduh itu, tiba-tiba Awang Garang berteriak lantang, “Semua pergi ke lambung kapal... Siaaap! Dorooong!” pekik Awang Garang. “Rrr... Rrr...,” suara lunas kapal bergeser. “Kwaaak...! Kwaaak...! Kwaaak!” terdengar tangis bayi. “Byuuur...,” terdengar suara kapal tercebur ke laut.
Para Datuk dan Batin yang masih tertutup matanya merasa penasaran ingin menyaksikan apa sebenarnya yang terjadi. Maka dibukanya tutup mata mereka. “Oh, rupanya Awang Garang memakai pohon yang dikupas kulitnya. Pakai galang kayu licin. Rupanya harus pakai galang,” kata para Datuk dan Batin bergantian.
Sementara ketujuh wanita yang mengandung sulung tersebut melahirkan anak-anak mereka dengan selamat. Mereka tidak digilas kapal seperti perkiraan para Datuk dan Batin, melainkan hanya dibaringkan di dalam lubang yang digali di bawah kapal.
Konon, delapan belas tahun kemudian, ketujuh bayi tersebut menjadi panglima penumpas lanun yang berkeliaran di perairan Riau. Mereka diberi gelar sesuai dengan warna pakaian ibu mereka pada saat melahirkan, yaitu Panglima Awang Merah, Panglima Awang Jingga, Panglima Awang Kuning, Panglima Awang Ungu, Panglima Awang Hijau, Panglima Awang Biru, dan Panglima Awang Nila.
Di bawah pimpinan Awang Garang yang bergelar Panglima Hitam Elang di Laut Bermata Satu, ketujuh panglima tersebut menjadi satu kekuatan dalam menumpas para lanun. Sejak saat itu, tidak ada lagi lanun yang berani berkeliaran di perairan Riau.
* * *
Cerita rakyat di atas merupakan cerita legenda yang berkembang di kalangan masyarakat Riau yang mengisahkan tentang asal-mula nama Palau Galang. Konon, nama pulau ini diambil kata “pakai galang”, yaitu kata-kata yang diucapkan oleh para Datuk dan Batin ketika menyaksikan Awang Garang berhasil menurunkan kapal ke laut dengan memakai galang dalam cerita rakyat di atas.
Pulau Galang merupakan sebuah daratan dalam gugusan kepulauan “Barelang” (Batam-Rempang-Galang) terletak di Desa Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam. Hingga kini, Pulau Galang dikenal sebagai bekas perkampungan pengungsi Vietnam (Kamp Sinam). Masyarakat Vietnam mengungsi ke Pulau Galang, karena terjadi perang saudara antara Vietnam Utara (berhaluan komunis) dengan Vietnam Selatan (berhaluan kapitalis). Pada tanggal 30 April 1975 Vietnam Utara berhasil menguasai Vietnam Selatan, sehingga banyak masyarakatnya yang memilih mengungsi ke negara lain dengan menggunakan perahu kayu, sehingga mereka dikenal dengan “manusia perahu” (boat people).
Sejak tahun 1975 hingga 1996, tercatat ribuan pengungsi dari Vietnam memasuki wilayah Indonesia. Atas permintaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang Pengungsi United Nation High Commision Refugees (UNHCR) kepada pemerintah Indonesia, agar menyediakan tempat penampungan sementara untuk para pengungsi, maka Palau Galang dipilih sebagai penampungan itu dan semua biaya ditanggung oleh UNHCR.
Pada tanggal 2 September 1996, PBB memulangkan para pengungsi ke negaranya, Vietnam, secara besar-besaran. Namun, terhitung tahun 1997, atas dasar kesepakatan international di bawah koordinasi PBB, UNHCR tidak mampu lagi menanggung biaya pengungsi. Maka, pemerintah Indonesia turun tangan memulangkan 5.000-an pengungsi yang masih tersisa ke negeri asalnya, Vietnam, melalui kegiatan operasi laut menggunakan sejumlah kapal perang. Pemulangan itu sendiri dilakukan setelah perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan dianggap mereda.
Sejak ditinggal oleh para penghuninya (para pengungsi), Pulau Galang atau eks Kamp Sinam telah menorehkan sebuah sejarah penting tragedi kemanusiaan di jagat raya yang bernama Indonesia. Kesediaan Indonesia menerima dan menyiapkan tempat tinggal para pengungsi Vietnam tersebut menunjukkan sikap penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM), yang berhak hidup secara layak dan damai di muka bumi. Walaupun demikian, UNHCR tetap memiliki peran yang sangat penting bagi pengungsi tersebut, yang telah menyediakan rumah, tempat ibadat, jalan, kamp atau barak-barak penampungan, sekolah, rumah sakit dan sebagainya di Pulau Galang.
Kini, kawasan Pulau Galang berubah menjadi objek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Nilai historis yang ada di Pulau Galang terlihat dari peninggalan-peninggalan bekas pengungsi Vietnam, seperti makam pengungsi, youth center, dan beberapa tampat ibadah serta patung raksasa Dewi Kwan Im atau Quan Nam Im.
Puteri Kaca Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru
Riau - Indonesia
Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.
Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.
Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.
Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.
“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.
Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.
Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.
Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.
* * *
Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.
Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT.By :
Bomi Putra Riau
Azwandi
Wido Saksana
Rahmad Hidayat
M. Mabrur
Amami